(Cerpen, by: Isaac Ahmed)
Hari masih pagi!
Dan Nyai Imah tampak bersemangat menurunkan keranjang-keranjang dagangannya dari becak langganannya.
Nyai Imah adalah seorang penjual ikan laut segar.
Kondisi geografis kota ini telah membuat sejumlah kecil penduduknya mencari nafkah sebagai pedagang ikan.
Jangan ditanya jika anak cucu si nenek ini tidak mengizinkan wanita berusia lanjut ini untuk terus mencari nafkah di sisa umurnya.
Toh Nyai Imah berpendapat, badan masih sehat juga sebagai rutinitas ketimbang sehari-hari makan dan tidur nan membosankan.
Buktinya tiga keranjang ikan pun masih sanggup dinaik-turunkan setiap hari!
Nyai Imah berangkat dari rumah pagi-pagi sekali, sekitar pukul 05.20 WIB, atau selepas beliau shalat Subuh.
Meski bersahaja, nenek ini tetap tekun beribadah.
Dan prinsipnya untuk memilih mencari penghasilan sendiri yang halal ketimbang meminta belas kasihan orang lain, patut diacungi jempol.
Dari rumah, si nenek menyewa tukang becak langganan untuk mengantarnya ke pasar ikan yang letaknya tidak jauh dari pantai.
Tiba di lokasi, biasanya sudah terasa rutinitas khas pasar pagi, suasana ramai sekali, semua prinsip memborong ikan semurah mungkin lalu menjualnya dengan keuntungan yang layak, dan itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan di pasar ikan ini.
★★★
Sardi Sadikin!
Mendengar namanya disebut saja sudah membuat sebagian orang berdiri bulu kuduknya.
Pria yang dimaksud sosoknya berperawakan tinggi besar, dengan sebaris tatto bermotifkan sauh di lengan kanannya, tanda resmi kala dia menginap di bui dua tahun lamanya.
Apakah pria ini seorang preman?
Rasanya tidak ada kata yang pantas buat menggambarkan sesosok pria seram ini.
Nafkah tetap tidak ada. Keahlian apalagi?
Kerjanya hanya memalak para pedagang ikan di sepanjang pantai ini.
Si preman Sardi suka memalak Kang Irwin, pedagang ikan asin, untuk dimintai uang sepuluh ribu rupiah setiap harinya.
Lalu ada Ibu Rosidah, si penjual udang segar.
Ibu ini tidak pernah lupa menyelipkan sedikit uangnya demi si preman sangar, dia begitu takutnya jika si preman Sardi tiba-tiba menggebrak lapak kecilnya itu.
Begitu pun Pak Haji Syukron, penjual aneka jenis kerang laut itu, tampak sabar menghadapi si preman.
Kadang saat dagangan sepi pun, si preman Sardi harus pasrah jika jatah palak ditukar ikan atau udang dagangan mereka.
Lantas bagaimana dengan Nyai Imah?
Konon si nenek pernah menyelamatkan nyawa ibu si preman Sardi saat sakit parah.
Si Sardi kecil tidak tahu apa-apa jika ibunya sangatlah malang, mengurusnya tanpa seorang ayah yang menghilang entah ke mana.
Kepada si Sardi, ibunya pernah berpesan untuk selalu menghormati Nyai Imah!
★★★
Namun janji tinggal janji!
Harapan itu berbanding terbalik dengan kejadian di hari ini.
Nyai Imah sebelumnya sudah merasakan aroma yang tidak beres sejak tadi.
Apalagi diketahuinya lapak Pak Haji Syukron, juga Ibu Rosidah tutup.
Mereka tidak jualan, tak ada hasil tangkapan udang dan kerang-kerangan hari ini.
Dan itu artinya...
★★★
"Braak!"
Si preman sangar ini menggebrak lapak si nenek.
"Bagi aku uang sepuluh ribu! Cepaat!"
Nyai Imah tampak gemetar, mukanya sedikit pucat.
"A-a-ku belum a-da yang be-be-lii..."
Si nenek menjawab sekenanya.
"Bohong!"
Si preman Sardi menepiskan beberapa ikan hingga terjatuh.
"Mana buktinya?"
Sambil melotot si preman itu merampas dompet si nenek, begitu tahu isinya kosong, dia membantingnya dengan keras.
"Sial...! Kalau begitu, bungkuskan aku dua kilo ikan saja!"
Nyai Imah menuruti apa kata lelaki kasar ini.
Dengan tatapan sedih, si nenek lalu memandangi pria kejam ini berlalu dari lapaknya.
★★★
Sesampainya di rumah, si Preman Sardi tampak tidak sabar untuk menyantap ikan-ikan rampasan dari Nyai Imah tadi.
Segera dia membersihkan ikan demi ikan hingga siap dimasak.
Sepeninggal ibunya yang memilih untuk ikut saudaranya di kota lain, si preman Sardi harus mengurus dan menyiapkan sendiri kebutuhan hidupnya.
Dan ikan-ikan tadi kemudian digoreng hingga garing oleh si preman sangar ini.
Nasi panas pun telah matang, ikan-ikan tadi siap disantap.
Bau harumnya yang menyengat, menggugah selera makan si preman ini.
Apa yang terjadi selanjutnya begitu mengejutkan!
Si preman Sardi menyuapkan nasi berikut satu cubitan kecil ikan goreng tadi.
Dia melahapnya seperti orang kesurupan.
Dan saat dia hendak membersihkan salah satu duri ikan itu, tiba-tiba satu duri besar dari punggung ikan itu menusuk jari telunjuknya.
"Arrrgh..."
Si Sardi berteriak kesakitan.
Duri ikan itu melukai telunjuknya. Tampak darah bercucuran saat si preman mencabut duri itu.
Rasa nyeri dan sakit bercampur jadi satu.
Si preman Sardi menyudahi makan siangnya, ikan-ikan goreng berikut nasinya terlantar begitu saja!
★★★
Dan sakitnya si Sardi berlangsung hingga seminggu lamanya.
Dia terkena demam, jarinya bengkak lantaran duri ikan itu!
Si sangar ini kini terbaring di kamarnya.
Dan nyeri itu serasa menjalar di sekujur tubuhnya.
Seluruh pedagang di pasar ikan heboh.
Seminggu tidak ada sosok sangar yang biasanya bikin onar.
Beberapa pedagang ikan tampak berkumpul menggunjingkan sosok preman sangar itu.
Kecuali si Nyai Imah, dia tetap tekun merapikan dagangannya.
Sesekali matanya yang sedikit berair menatap orang-orang yang riuh-rendah membincangkan si preman Sardi.
Beberapa saat kemudian riuh-rendah itu menjadi senyap.
Seiring langkah kaki diseret-seret yang telah dikenal betul oleh si nenek ini, mendekat...
"Nyai...Nya-nyai Imah?"
Si nenek begitu tertegun, di hadapannya tampak si preman Sardi dengan mimik menahan sakit yang amat sangat.
Tangan kanan si Sardi memegang tongkat kayu, dia tampak tidak sanggup melangkah tanpa penopang kayu ini.
Si Sardi lalu membungkuk, bersimpuh di ujung kaki Nyai Imah.
"Nyai...maafkanlah aku?"
Si nenek bingung apa yang mau dimaafkan.
"Nyai...minggu lalu aku amat sangat berdosa sekali. Aku mengabaikan nasehat ibuku. Nenek yang seharusnya aku jaga, malah aku kasari, juga kusakiti!"
Bulir-bulir air mata membasahi muka si Sardi.
Kedua tangan si Sardi menggenggam erat tangan si nenek.
Nyai Imah ikut berurai air mata.
Di dalam fikirannya perbuatan si preman tempo hari memang fatal, merampas milik seseorang yang bukan haknya.
Namun Nyai Imah sejak saat itu telah mengikhlaskan, karena dia menyadari tindakan seseorang yang kehilangan akal sehat, akan membuat seseorang menghalalkan cara apapun, termasuk meminta paksa ikan-ikan dagangannya.
Si nenek juga sadar, sakitnya si preman Sardi mungkin salah satu cara Tuhan menegur hambaNya.
"I-ya...nak. Aku maafkan. Semoga sakitmu juga cepat disembuhkan?"
Nyai Imah berucap dengan lembut.
Perlahan-lahan setelah permohonan maaf untuk si nenek diterima, rasa sakit itu berangsur-angsur hilang.
Si preman Sardi kini berubah menjadi sosok yang santun.
Dia lalu membantu Nyai Imah menjualkan ikan-ikan dagangannya!
★★★
Ditulis oleh: Isaac Ahmed, 8 Januari 2012
(Cerpen ini hanyalah ilustrasi semata, tak ada niat buat menyinggung pihak-pihak tertentu. Saya terinspirasi untuk menulis cerita ini setelah mendengar ceramah dari seorang ustadz)
(Inzet foto: Looking Through Your Eyes, by: Isaac Ahmed)
Jembatan Ampera, Shot By Shot
-
*PROLOG*
Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di kota Palembang, Provinsi Sumatera
Selatan, Indonesia.
Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang...
8 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar